Aku, Payung dan Hujan
Malam ini lagi lagi Bandung diguyur hujan. Aku termenung duduk di sebuah
bangku yang terletak di pojok warung menunggu Capcay pesananku, menu favorit
yang sudah hampir 3 minggu aku tak memakannya karena krisis anak kosan. Ternyata
tak butuh waktu lama, pesanan sudah dibungkus rapi, sekarang tinggal menunggu
hujan yang dari tadi tak kunjung undur diri. Jika boleh meminjam istilah ”kalo
jodoh tak mungkin kemana”, maka mungkin bisa dibalik “kalo ga jodoh pasti gatau
lagi mau kemana”, gak pernah ketemu. Seperti aku, payung dan Hujan. Tak pernah
berjodoh, bawa payung tapi gak hujan, gak bawa payung ternyata hujan atau bawa
payung dan kebetulan hujan tapi kemudian payung hilang karena ketinggalan. Sungguh
lelucon yang tidak lucu sama sekali. Kali ini kondisinya adalah sedang hujan
sangat deras dan aku tak membawa payung, ditambah flu yang semakin menjadi
jadi, ingus yang tak sabar selalu ingin show
up, dan perut yang seenaknya tak tahu tempat dan waktu kapan ia harus
berbunyi karena saking laparnya, lengkap sudah kronologi cerita yang memang
sengaja dibuat dramatis ini.
Dasar aku yang tak sabaran, akhirnya aku memutuskan untuk menerobos hujan
yang sedang lebat lebatnya. Kupersiapkan semuanya dengan matang matang, aku
lepas sepatu dan kaos kakiku, memasukkannya dalam tas ransel yang berisi buku
buku catatan kuliah kemudian membungkusnya dengan plastik seadanya. Kurangkul sekuat
kuatnya. Kutundukkan sedikit kepala dan pandanganku agar hujan tak sampai
mengenai kacamataku dan mengambil posisi kuda kuda bak seorang pelari
profesional. Belum genap 3 langkah aku
mencoba berlari terdengar suara seorang pria memanggil dari belakang “Neng,
tunggu sebentar, saya antarkan”, kemudian seperti tata cara adab sopan santun
pada umumnya aku berusaha menolaknya.
Hujan turun makin cepat, seolah olah tak ingin kalah dengan tempo langkah
kakiku yang semakin cepat walaupun tak
presisi. Dan tidak hanya hujan, lelaki tadi yang memanggilku sekarang tepat di
belakangku juga dengan sangat apik mengikuti tempo langkah kakiku. Kini Aku,
lelaki di belakangku dan hujan malam ini seakan membentuk suatu irama,
merayakan kedatangan hujan. Agaknya hujan
memang sengaja tak membiarkan kami berdua untuk sempat mengobrol. Tanpa sempat
mengucap sepatah katapun, kami berdua sampai di depan pintu kosan.ku. dengan
senyum haru aku memberikan payung yang dipinjami oleh lelaki tadi, dan pasti
tak lupa berucap terimakasih. Dia tersenyum dan berbalik arah sambil memakai
payung yang tadi aku pakai dan melipat payung lain yang tadi dipakainya. Dari belakang
aku melihat punggungnya basah terkena hujan. Dan aku tahu itu karena payung
yang dipakainya tadi sudah agak reyot dan sudah tak jelas kerangkanya. dengan
kaos yang basah sebagian karena air hujan, mungkin juga ditambah rasa dingin,
kerutan khas di wajah, serta perawakan yang mulai ringkih tapi tetap berjuang,
lelaki itu kembali ke tempat awal dia memanggilku. dia, beliau, si bapak
penjual capcay (: (: wkwkwk. Terimakasih pak, bukan untuk payungmu, tapi untuk
kebaikan hatimu. Dengan senyum tipis aku membatin, dunia tak pernah kehabisan
orang baik.
Sekian (:
Comments
Post a Comment