Tujuan Hidup
Bismillah,
“yah,
mengapa sih ayah dulu gak nerusin aja teaternya, mungkin ayah gak perlu susah
susah seperti ini. Bolak balik ke surabaya membawa barang dengan kondisi kaki
yang seperti ini”
kali
ini aku memulai pembicaraan serius dengan ayah. Padahal biasanya aku lebih banyak diam ketika di
rumah. Jarang sekali aku memulai pembicaraaan apalagi masalah serius. Menimpali
lawan bicara yang lagi ngelawak aja hanya dengan kata “heh” sambil
menyunggingkan ujung bibir pertanda aku tidak tertarik.
Namun kali ini rupanya aku sudah mulai bosan diam menemani ayah yang tengah menyetir mobil dan hampir satu jam duduk berdampingan tanpa pembicaraan.
Namun kali ini rupanya aku sudah mulai bosan diam menemani ayah yang tengah menyetir mobil dan hampir satu jam duduk berdampingan tanpa pembicaraan.
“dulu
setelah kecelakaan mobil, ayah tak bisa melakukan apa apa selama hampir 2 tahun
za. Tulang tempurung lutut ayah remuk, bahkan kaki ayah gak bisa ditekuk waktu
itu, mulai saat itulah ayah sudah jarang mengurusi teater itu. dan juga lost
contact dengan teman teman ayah yang kebanyakan mereka di jakarta” ayahku
menjawab panjang. (red : momen langka!)
Dulunya,
ayahku adalah seorang seniman. Ia sering menulis naskah naskah drama dan pernah
menyutradarai teater “Burdah” yang sangat populer pada masanya. Jika
diteluusuri, beliau merupakan sosok yang sangat menginspirasi, aktif dan ulet
yang dibungkus dalam damainya kederhanaan dalam dirinya. Sejak usia 6 tahun
ayah merantau untuk menimba ilmu. Bahkan pernah sekali beliau bercerita bahwa
beliau masih sering ngompol pada waktu itu. sampai pada usia mudanya pun berkat
hobinya yang ia sebut “mengembara”, beliau sudah sampai ke negara mesir, jerman, swiss,
belanda dan entah apalagi. Menjadi pemimpin redaksi majalah di mesir,
mengomando pementasan teater di jerman, sampai menjadi tukang bakso. Ya,
pengalaman yang bukan main main.
“Lagian
kaya dan uang banyak itu bukan tujuan” lanjut beliau menjelaskan
“maksudnya?”
“yaaa,
itu hanya jalan untuk mencapai tujuan. Dan setiap orang itu punya jalan masing
masing dalam menempuh tujuan itu. ada yang jalannya terjal, ada juga yang mulus
dan lurus”
Ayah
melanjutkan lagi “entah jalannya berlubang, terjal, berduri, beraspal. Entah
membutuhkan waktu satu jam, satu abad, seribu tahun bahkan 200 dekade pun.
Bukankan yang terpenting adalah sampai pada tujuan itu bukan?”
“memang
tujuan hidup itu apa yah?” aku bertanya lagi
Sang
ayah menjawab dengan tenang “Tujuan hidup ya ALLAH”.
Aku
diam tak mejawab. Pertanda masi belum paha betul apa yang dimaksudkan ayah
“Kita
manusia hidup di bumi ini bukan semata mata hanya untuk makan,tidur, bekerja
dan punya anak. Jika hanya untuk itu, tak perlu lah Tuhan susah susah
menyelipkan ‘akal-manusia’. Kita ini diturunkan ke bumi punya misi besar ya
tentunya sebagai Manusia. Pada akhirnya nanti kita akan menghadap kepada yang
Maha Agung yang mengutus kita yaitu Allah. Untuk apa? Yaa untuk melaporkan
pelaksanaan misi kita sebagai manusia
sebenarnya. Kalo kau tak menjalankan misi dengan kemanusiaanmu kau mau
laporkan apa besok?. Tak malu sama sang Jendral?”
Penjelasan agak panjang
dari ayah itu kemudian membawa aku pada keheningan pikiran serta renungann yang
mendalam namun tak kunjung menemui kesimpulan.
Comments
Post a Comment